Kamis, 01 September 2016

Tidak Boleh Gusur Paksa Meski Untuk Kepentingan Umum



Ketika masa pemerintahan khalifah Umar bin Khaththab r.a, Masjid Nabawi senantiasa disesakkan oleh jemaah kaum muslimin yang terus bertambah. Kemudian Umar r.a berniat untuk memperluas masjid tersebut agar bisa menampung kaum muslimin yang hendak beribadah di dalamnya.

Semua rumah di sekitar masjid telah dibelinya, kecuali rumah Abbas bin Abdul Muthalib r.a atau Abul Fadhal (ayahnya Fadhal, putra sulungnya). Amirul Mukminin pun menemuinya dan berkata, "Wahai Abul Fadhal, seperti yang kaulihat bahwa masjid sudah tidak cukup menampung jemaah yang akan shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada di sekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, kecuali rumahmu dan kamar-kamar Ummahatui Mu'minin (para istri nabi). Kami tidak mungkin membeli dan membongkar kamar-kamar Ummahatul Mu'minin. Oleh karena itu, aku meminta kepadamu agar kau mau menjual rumahmu berapa pun harga yang kau mau dari Baitul Mal."

Abbas r.a. menjawab singkat, "Tidak mau!"

Bukan Umar r.a namanya jika ia patah semangat. Ia pun menawarkan tiga pilihan bagi Abbas r.a,"Juallah rumahmu! Kau boleh meminta harga berapa pun dari Baitul Mal, aku akan membangunkanmu sebuah bangunan lain dari Baitul Mal, atau kamu berikan rumahmu sebagai harta sedekah kepada kaum muslimin!"

Abbas r.a tetap pada pendiriannya, "Aku tidak mau menerima semua itu!"

Melihat Abbas r.a yang keras kepala, Umar r.a meminta agar Abbas r.a menunjuk orang yang bisa menjadi penengah permasalahan mereka. Abbas r.a menunjuk Ubay bin Ka'ab r.a. yang kemudian disetujui oleh Amirul Mukminin, Umar r.a.

Mereka berdua pun menemui Ubay bin Ka'ab r.a. Umar r.a berharap bahwa caranya ini dapat membuat Abbas r.a merelakan rumahnya untuk disedekahkan. Lagi pula bukankah ia dalam posisi yang benar karena ingin membangun masjid untuk kepentingan kaum muslimin beribadah kepada Rabb-Nya? Umar r.a berkeyakinan bahwa Ubay r.a akan mendukung dirinya.

Setelah Ubay bin Ka'ab r.a mendengar permasalahan dari sudut pandang kedua belah pihak, ia mengisahkan, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Allah SWT pernah mewahyukan kepada Nabi Daud a.s., 'Bangunlah untuk-Ku sebuoh rumah tempat orang-orang menyebut nama-Ku di sana.' Nabi Daud a.s. merencanakan untuk membangunnya di Baitul Magdis. Dalam perencanaannya itu, lokasi pembangunan mengenai sebuah rumah seorang Bani Israel. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tetapi ia menolak ...."

Sampai di sini Umar r.a. merasa di atas angin karena ia yakin dirinyalah yang benar, sebagaimana posisi Nabi Daud a.s saat itu. Kemudian Ubay r.a melanjutkan, "Terpikir oleh Nabi Daud a.s. untuk mengambilnya dengan paksa. Namun, kemudian Allah SWT mewahyukan kepadanya, 'Hai Daud! Aku menyuruhmu membangun untuk-Ku tempat orang menyebut nama-Ku, sedangkan pemaksaan itu bukan sifat-Ku. Karena itu kau tidak usah membangunnya ..."

Umar r.a kaget mendengar cerita itu. Belum pernah sekalipun ia mendengar kisah tersebut dari Rasulullah saw. Sebelum Ubay r.a menyelesaikan kisahnya, Umar r.a. langsung mencengkeram kerah baju Ubay r.a dan menyeretnya ke masjid sambil menghardik, "Aku mengharapkanmu untuk mendukungku, tetapi kau malah menyudutkanku! Kau harus membuktikan kebenaran kisahmu tadi!"

Umar r.a membawanya ke tengah-tengah majelis para sahabat, di antaranya ada Abu Dzar r.a. Umar r.a bertanya ke majelis sahabat, "Saya berharap atas nama Allah, adakah di antara kalian yang pernah mendengar Rasulullah saw. berbicara tentang Nabi Daud a.s yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk mendirikan masjid agar disebut nama-Nya, kemudian ia memilih Baitul Maqdis?"

Abu Dzar r.a. berkata, "Ya, saya pernah mendengarnya!" Begitu pula yang lain berkata sama, "Ya, saya juga mendengarnya!"

Jawaban para sahabat membuat Umar r.a tersadar, kemudian berkata kepada Abbas r.a, "Pergilah! Aku tidak akan menuntut rumahmu lagi!"

Melihat Umar r.a yang telah melunak dan menyadari kesalahannya, Abbas r.a berkata, "Baiklah, kalau kau telah mengubah sikapmu, aku akan serahkan rumahku untuk disedekahkan bagi kepentingan kaum muslimin. Silakan perluas masjid mereka. Akan tetapi, jika kau mengambilnya dengan tekanan dan pemaksaan, aku tidak akan pernah merelakannya!"

Secara tidak langsung, Abbas r.a telah mengoreksi sikap Umar r.a yang bersikap sewenang-wenang merampas hak rakyatnya agar memenuhi keinginannya dengan cara paksa meskipun tujuannya untuk kemaslahatan umat.

Namun, ketika Abbas r.a melihat Umar r.a. mampu menghargai hak rakyatnya untuk berpendapat dan mempertahankan miliknya, barulah ia merelakan rumahnya untuk disedekahkan.


Milik Negara untuk Kepentingan Negara













Di suatu malam kelam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz sibuk mengerjakan tugas negara ditemani sebuah lentera kecil yang sinarnya tidak seberapa. Cahaya di ruangan kerja sang khalifah begitu redup, padahal ia harus membaca dan menulis.

Namun, tampaknya ia sangat menikmati kebersahajaan itu. Padahal, wilayah kekuasaannya sangat luas dan harta bertumpuk di Baitul Mal. Bukannya negara tidak mampu memberikannya lentera yang lebih terang, tetapi sang Amirul Mukminin lebih memilih menggunakan sedikit mungkin harta dari Baitul Mal dan menggunakan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rakyat. la tidak ingin terjebak dalam penyalahgunaan harta negara.

Kala itu seseorang bertamu ke tempatnya. Dalam ruangan yang remang-remang, Amirul Mukminin menjawab salam tamu tersebut seraya bertanya, "Apakah kedatanganmu ini untuk keperluan negara atau pribadi?"

"Saya kemari untuk membicarakan urusan pribadi dengan Anda," jawabnya.

Umar lantas mematikan lenteranya sehingga suasana menjad gelap temaram. Tamu tersebut bertanya, "Mengapa kau matikan lentera itu?"

"Bukankah engkau kemari untuk urusan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan negara? Lentera beserta cahayanya ini dibayar oleh negara karena itulah aku matikan agar tidak terjadi penyelewengan penggunaan harta negara," jelasnya.


Selasa, 30 Agustus 2016

32 Cara Engkau Berbakti Kepada kedua Orang Tua

Oleh: Asy Syaikh Muhammad Jamil Zainu

1. Berbicaralah kamu kepada kedua orang tuamu dengan adab dan janganlah mengucapkan “Ah” kepada mereka, jangan hardik mereka, berucaplah kepada mereka dengan ucapan yang mulia.

2. Selalu taati mereka berdua di dalam perkara selain maksiat, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada sang Khalik.

3. Lemah lembutlah kepada kedua orangtuamu, janganlah bermuka masam serta memandang mereka dengan pandangan yang sinis.

4. Jagalah nama baik, kemuliaan, serta harta mereka. Janganlah engkau mengambil sesuatu tanpa seizin mereka.

5. Kerjakanlah perkara-perkara yang dapat meringankan beban mereka meskipun tanpa diperintah. Seperti melayani mereka, belanja ke warung, dan pekerjaan rumah lainnya, serta bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu.

6. Bermusyawarahlah dengan mereka berdua dalam seluruh kegiatanmu. Dan berikanlah alasan jika engkau terpaksa menyelisihi pendapat mereka.

7. Penuhi panggilan mereka dengan segera dan disertai wajah yang berseri dan menjawab, “Ya ibu, ya ayah”. Janganlah memanggil dengan, “Ya papa, ya mama”, karena itu panggilan orang asing (orang-orang barat maksudnya –pent.).

8. Muliakan teman serta kerabat mereka ketika kedua orang tuamu masih hidup, begitu pula setelah mereka telah wafat.

9. Janganlah engkau bantah dan engkau salahkan mereka berdua. Santun dan beradablah ketika menjelaskan yang benar kepada mereka.

10. Janganlah berbuat kasar kepada mereka berdua, jangan pula engkau angkat suaramu kepada mereka. Diamlah ketika mereka sedang berbicara, beradablah ketika bersama mereka. Janganlah engkau berteriak kepada salah seorang saudaramu sebagai bentuk penghormatan kepada mereka berdua.

11. Bersegeralah menemui keduanya jika mereka mengunjungimu, dan ciumlah kepala mereka.

12. Bantulah ibumu di rumah. Dan jangan pula engkau menunda membantu pekerjaan ibumu.

13. Janganlah engkau pergi jika mereka berdua tidak mengizinkan meskipun itu untuk perkara yang penting. Apabila kondisinya darurat maka berikanlah alasan ini kepada mereka dan janganlah putus komunikasi dengan mereka.

14. Janganlah masuk menemui mereka tanpa izin terlebih dahulu, apalagi di waktu tidur dan istirahat mereka.

15. Jika engkau kecanduan merokok, maka janganlah merokok di hadapan mereka.

16. Jangan makan dulu sebelum mereka makan, muliakanlah mereka dalam (menyajikan) makanan dan minuman.

17. Janganlah engkau berdusta kepada mereka dan jangan mencela mereka jika mereka mengerjakan perbuatan yang tidak engkau sukai.

18. Jangan engkau utamakan istri dan anakmu di atas mereka. Mintalah keridhaan mereka berdua sebelum melakukan sesuatu karena ridha Allah tergantung ridha orang tua. Begitu juga kemurkaan Allah tergantung kemurkaan mereka berdua.

19. Jangan engkau duduk di tempat yang lebih tinggi dari mereka. Jangan engkau julurkan kakimu di hadapan mereka karena sombong.

20. Jangan engkau menyombongkan kedudukanmu di hadapan bapakmu meskipun engkau seorang pejabat besar. Hati-hati, jangan sampai engkau mengingkari kebaikan-kebaikan mereka berdua atau menyakiti mereka walaupun dengan hanya satu kalimat.

21. Jangan pelit dalam memberikan nafkah kepada kedua orang tua sampai mereka mengeluh. Ini merupakan aib bagimu. Engkau juga akan melihat ini terjadi pada anakmu. Sebagaimana engkau memperlakukan orang tuamu, begitu pula engkau akan diperlakukan sebagai orang tua.

22. Banyaklah berkunjung kepada kedua orang tua, dan persembahkan hadiah bagi mereka. Berterimakasihlah atas perawatan mereka serta atas kesulitan yang mereka hadapi. Hendaknya engkau mengambil pelajaran dari kesulitanmu serta deritamu ketika mendidik anak-anakmu.

23. Orang yang paling berhak untuk dimuliakan adalah ibumu, kemudian bapakmu. Dan ketahuilah bahwa surga itu di telapak kaki ibu-ibu kalian.

24. Berhati-hati dari durhaka kepada kedua orang tua serta dari kemurkaan mereka. Engkau akan celaka dunia akhirat. Anak-anakmu nanti akan memperlakukanmu sama seperti engkau memperlakukan kedua orangtuamu.

25. Jika engkau meminta sesuatu kepada kedua orang tuamu, mintalah dengan lembut dan berterima kasihlah jika mereka memberikannya. Dan maafkanlah mereka jika mereka tidak memberimu. Janganlah banyak meminta kepada mereka karena hal itu akan memberatkan mereka berdua.

26. Jika engkau mampu mencukupi rezeki mereka maka cukupilah, dan bahagiakanlah kedua orangtuamu.

27. Sesungguhnya orang tuamu punya hak atas dirimu. Begitu pula pasanganmu (suami/istri) memiliki hak atas dirimu. Maka penuhilah haknya masing-masing. Berusahalah untuk menyatukan hak tersebut apabila saling berbenturan. Berikanlah hadiah bagi tiap-tiap pihak secara diam-diam.

28. Jika kedua orang tuamu bermusuhan dengan istrimu maka jadilah engkau sebagai penengah. Dan pahamkan kepada istrimu bahwa engkau berada di pihaknya jika dia benar, namun engkau terpaksa melakukannya karena menginginkan ridha kedua orang tuamu.

29. Jika engkau berselisih dengan kedua orang tuamu di dalam masalah pernikahan atau perceraian, maka hendaknya kalian berhukum kepada syari’at karena syari’atlah sebaik-baiknya pertolongan bagi kalian.

30. Doa kedua orang itu mustajab baik dalam kebaikan maupun doa kejelekan. Maka berhati-hatilah dari doa kejelekan mereka atas dirimu.

31. Beradablah yang baik kepada orang-orang. Siapa yang mencela orang lain maka orang tersebut akan kembali mencelanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela kedua orang tuanya dengan cara dia mencela bapaknya orang lain, maka orang tersebut balas mencela bapaknya. Dia mencela ibu seseorang, maka orang tersebut balas mencela ibunya.” (Muttafaqun ‘alaihi).

32. Kunjungilah mereka disaat mereka hidup dan ziarahilah ketika mereka telah wafat. Bershadaqahlah atas nama mereka dan banyaklah berdoa bagi mereka berdua dengan mengucapkan,

“Wahai Rabb-ku ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Waha Rabb-ku, rahmatilah mereka berdua sebagaimana mereka telah merawatku ketika kecil”. (*)

Diterjemahkan dari Kitab Kaifa Nurabbi Auladana.
Sumber, https://ulamasunnah.wordpress.com