Rabu, 20 Juli 2022

Hikmah mencintai surat Al-Ikhlas

Surah al-Ikhlas adalah surah ke 122 dalam Al-Qur’an dan tergolong ke dalam surah makkiyah. Surah yang terdiri dari empat ayat ini dinamakan juga surah at-Tauhid, karena isinya menjelaskan tentang keesaan Allah swt sembari menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Nilai-nilai inilah yang menjadi inti atau esensi ajaran Islam (Shafawat al-Tafasir).

Ada beberapa riwayat hadis berkenaan dengan asbabun nuzul surah al-Ikhlas. Namun, semua riwayat itu mengerucut pada inti yang sama, yakni jawaban atas permintaan penggambaran sifat-sifat Allah swt, segala sesuatu tergantung pada-Nya, Dia tidak beranak dan diperanakkan serta tidak ada yang setara dengan dia. Singkatnya, surah al-Ikhlas turun dalam rangka membumikan ke-tauhid-an.

Catatan paling awal berkenaan dengan asbabun nuzul surah al-Ikhlas adalah riwayat Abdullah bin Mas’ud. Ia mengatakan bahwa sekelompok Quraisy pernah meminta nabi untuk menjelaskan leluhur Allah swt dan kemudian turunlah surah ini. Riwayat lain dari Ubay bin Ka’ab dan Jarir bin Abdillah menyebutkan bahwa kaum Musyrikin berkata kepada Nabi Muhammad, “Jelaskan kepada kami sifat-sifat Tuhanmu.” Lalu turunlah surah ini (Mengungkap Rahasia Al-Qur’an).

Menurut Abul A’la Maududi, surah al-Ikhlas turun pada periode awal Islam di Mekah berkenaan dengan pertanyaan kaum Quraisy tentang leluhur Allah swt. Namun dalam sepanjang perjalanan dakwah nabi Muhammad saw, surah ini diwahyukan kembali guna menjawab problematika saat itu. Jika ada yang mengajukan pertanyaan serupa, maka ayat yang sama akan disebutkan kembali (The Holy Qur’an, Madudi’s Introduction of Al-Ikhlas).

Dalam sejarah kehidupan muslim di dunia, surah al-Ikhlas kerap kali diamalkan dalam bentuk yang bermacam-macam, mulai dari dibaca hingga dijadikan sebagai zikir tertentu. Kita bisa menemukan banyak riwayat mengenai kisah para ulama dengan surah itu, bahkan jumlahnya tak terhitung. Fenomena ini seringkali diasosiasikan dengan keutamaan surah al-Ikhlas dalam hadis nabi Muhammad saw.

Kisah Sahabat Nabi Saw Yang Rutin Membaca Surah Al-Ikhlas Dalam Setiap Shalat

Salah satu riwayat tersohor berkenaan dengan interaksi muslim dengan surah al-Ikhlas adalah kisah sahabat nabi Muhammad saw yang rutin membaca surah al-Ikhlas dalam setiap shalat. Dikisahkan bahwa hal ini ia lakukan atas dasar cinta mendalam terhadap Allah swt dan ia menyukai isi kandungan surah al-Ikhlas yang menjelaskan sifat-sifatnya.

Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukahri dalam kitab Sahih al-Bukhari. Disebutkan bahwa Aisyah dulu nabi Muhammad saw pernah mengangkat seorang lelaki sebagai pemimpin pasukan khusus untuk melakukan suatu tugas. Alkisah, mereka melaksanakan tugas dengan baik, namun ada kejadian yang cukup janggal, yakni sang pemimpin selalu mengakhiri bacaan shalatnya dengan surah al-Ikhlas.

Sepulang dari tugas, anggota pasukan khusus tersebut menceritakan kejadian yang janggal itu kepada nabi Muhammad saw. Beliau bersabda, “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia melakukan hal itu,” lalu mereka bertanya kepadanya, dan ia menjawab, “Karena di dalamnya disebutkan sifat Tuhan Yang Maha Pemurah, dan aku suka membacakannya dalam shalatku.”

Setelah hal itu disampaikan kepada Nabi Saw, maka beliau bersabda:

أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّهُ

Artinya: “Sampaikanlah kepadanya, bahwa Allah menyukainya.”

Kalau mencintai surat al-Ikhlas berbuah kecintaan Alloh kepadanya, bagaimana kalau mencintai seluruh isi AL-Qur'an?? 

Mari membaca AL-Qur'an karena cinta

Kisah-Kisah Perjuangan Para Penuntut Ilmu Yang Menakjubkan

Berikut ini adalah sepenggal kisah-kisah menakjubkan tentang kesungguhan para Ulama dalam menuntut ilmu. Semoga bisa menjadi pelajaran dan teladan bagi kita untuk bersemangat menjalankan aktifitas ilmiyyah : menempuh perjalanan menghadiri majelis ilmu, mencatat, murojaah (mengingat kembali pelajaran yang sudah didapat), membaca buku-buku para Ulama’, merangkum, meringkas, menyadur dan menyalin tulisan para ulama, mencatat faidah-faidah ilmu yang kita lihat dan dengar, mendengarkan rekaman ceramah-ceramah ilmiyyah melalui file-file audio, dan semisalnya.

Sesungguhnya menuntut ilmu adalah ibadah, bahkan menurut al-Imam asy-Syafi’i:

طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ النَّافِلَةِ

Menuntut ilmu lebih utama dibandingkan sholat Sunnah (Musnad asySyafi’i (1/249), Tafsir alBaghowy (4/113), Faidhul Qodiir (4/355))

Kisah-kisah nyata berikut ini sebagian besar disarikan dari kitab alMusyawwaq ilal Qiro-ah wa tholabil ‘ilm karya Ali bin Muhammad al-‘Imran.

KESABARAN DAN KESUNGGUHAN MENUNTUT ILMU

Ibnu Thahir al-Maqdisy berkata : Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu haditssekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku

BELAJAR SETIAP HARI

Al-Imam anNawawy setiap hari membaca 12 jenis ilmu yang berbeda (Fiqh, Hadits, Tafsir, dsb..)

MEMBACA KITAB SEBAGAI PENGUSIR KANTUK

Ibnul Jahm membaca kitab jika beliau mengantuk, pada saat yang bukan semestinya. Sehingga beliau bisa segar kembali.

BERUSAHA MENDAPATKAN FAIDAH ILMU MESKI DI KAMAR MANDI

Majduddin Ibn Taimiyyah (Kakek Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah) jika akan masuk kamar mandi berkata kepada orang yang ada di sekitarnya: Bacalah kitab ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya di kamar mandi.

40 TAHUN TIDAKLAH TIDUR KECUALI KITAB BERADA DI ATAS DADANYA

Al-Hasan alLu’lu-i selama 40 tahun tidaklah tidur kecuali kitab berada di atas dadanya.

TIDAKLAH BERJALAN KECUALI BERSAMANYA ADA KITAB

Al-Hafidz alKhothib tidaklah berjalan kecuali bersamanya kitab yang dibaca, demikian juga Abu Nu’aim alAsbahaany (penulis kitab Hilyatul Awliyaa’)

MENJUAL RUMAH UNTUK MEMBELI KITAB

Al-Hafidz Abul ‘Alaa a-Hamadzaaniy menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy

KEMAMPUAN MEMBACA YANG LUAR BIASA

Ibnul Jauzy  sepanjang hidupnya telah membaca lebih dari 20.000 jilid kitab

Al-Khothib al-Baghdady membaca Shahih al-Bukhari dalam 3 majelis ( 3 malam), setiap malam mulai ba’da Maghrib hingga Subuh (jeda sholat)

Catatan : Shahih alBukhari terdiri dari 7008 hadits, sehingga rata-rata dalam satu kali majelis (satu malam) dibaca 2336 hadits.

Abdullah bin Sa’id bin Lubbaj al-Umawy dibacakan kepada beliau Shahih Muslim selama seminggu dalam sehari 2 kali pertemuan (pagi dan sore) di masjid Qurtubah Andalus setelah beliau pulang dari Makkah.

Catatan : Shahih Muslim terdiri dari  5362 hadits

Al-Hafidz Zainuddin al-Iraqy membaca Musnad Ahmad dalam 30 majelis (pertemuan)

Catatan : Musnad Ahmad terdiri dari 26.363 hadits, sehingga rata-rata dalam sekali majelis membacakan lebih dari 878 hadits.

Al-‘Izz bin Abdissalaam membaca kitab Nihaayatul Mathlab 40 jilid dalam tiga hari (Rabu, Kamis, dan Jumat) di masjid.

Al-Mu’taman as-Saaji membaca kitab al-Fashil  465 halaman (kitab pertama tentang Mustholah hadits) dalam 1 majelis.

Salah seorang penuntut ilmu membacakan di hadapan Syaikh Bin Baz Sunan anNasaa’i selama 27 majelis

Catatan : jika yang dimaksud adalah Sunan anNasaai as-Sughra terdiri dari 5662 hadits, sehingga rata-rata lebih dari 209 hadits dalam satu majelis.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rata-rata menghabiskan waktu selama 12 jam sehari untuk membaca buku-buku hadits di perpustakaan.

MENGULANG-ULANG MEMBACA SUATU KITAB HINGGA BERKALI-KALI

Al-Muzani berkata: Aku telah membaca kitab arRisalah (karya asy-Syafi’i) sejak 50 tahun lalu dan setiap kali aku baca aku menemukan faidah yang tidak ditemukan sebelumnya.

Gholib bin Abdirrahman bin Gholib al-Muhaariby telah membaca Shahih alBukhari sebanyak 700 kali.

KESUNGGUHAN MENULIS

Ismail bin Zaid dalam semalam menulis 90 kertas dengan tulisan yang rapi.

Ahmad bin Abdid Da-im al-Maqdisiy telah menulis/ menyalin lebih dari 2000 jilid kitab-kitab. Jika senggang, dalam sehari bisa menyelesaikan salinan 9 buku. Jika sibuk dalam sehari menyalin 2 buku.

Ibnu Thahir berkata: saya menyalin Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abi Dawud 7 kali dengan upah, dan Sunan Ibn Majah 10 kali

Ibnul Jauzy dalam setahun rata-rata menyalin 50-60 jilid buku

Muhammad bin Mukarrom yang lebih dikenal dengan Ibnu Mandzhur –penulis Lisaanul Arab- ketika meninggal mewariskan 500 jilid buku tulisan tangan

Abu Abdillah alHusain bin Ahmad alBaihaqy adalah seseorang yang cacat sehingga tidak memiliki jari tangan, namun ia berusaha untuk menulis dengan meletakkan kertas di tanah dan menahannya dengan kakinya, kemudian menulis dengan bantuan 2 telapak tangannya. Ia bisa menghasilkan tulisan yang jelas dan bisa dibaca. Kadangkala dalam sehari ia bisa menyelesaikan tulisan sebanyak 50-an kertas.

SANGAT BERSEMANGAT DALAM MENCATAT FAIDAH

 

Al-Imam anNawawy berkata: Janganlah sekali-kali seseorang meremehkan suatu faidah (ilmu) yang ia lihat atau dengar. Segeralah ia tulis dan sering-sering mengulang kembali.

 

Al-Imam al-Bukhary dalam semalam seringkali terbangun, menyalakan lampu, menulis apa yang teringat dalam benaknya, kemudian beranjak akan tidur, terbangun lagi , dan seterusnya hingga 18 kali.

Abul Qosim bin Ward atTamiimy jika diberikan kepada beliau suatu kitab beliau akan membaca dari atas hingga bawah, jika menemukan faidah baru beliau tulis dalam kertas tersendiri hingga terkumpul suatu pokok bahasan khusus.

BERSAMA ILMU HINGGA MENJELANG AJAL

 

Abu Zur’ah arRaaziy ketika menjelang ajal dijenguk oleh sahabat-sahabatnya ahlul hadits mereka mengisyaratkan hadits tentang talqin Laa Ilaaha Illallaah. Hingga Abu Zur’ah berkata:

روى عبدالحميد بن جعفر، عن صالح بن أبي عريب، عن كثير بن مرَّة، عن معاذ عن النبي – صلى الله عليه وسلم -: ((من كان آخر كلامه: لا إله إلا الله دخلَ الجنة))

Abdul Humaid bin Ja’far meriwayatkan dari Sholih bin Abi Uraib dari Katsir bin Murroh dari Muadz dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam: Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaaha Illallaah maka ia masuk surga.

Kemudian Abu Zur’ah meninggal dunia

Ibn Abi Hatim berkata: Aku masuk ke ruangan ayahku (Abu Hatim arRaziy) ketika beliau menjelang ajal dalam keadaan aku tidak mengetahuinya aku bertanya kepadanya tentang Uqbah bin Abdil Ghofir apakah ia adalah Sahabat Nabi? Ayahku menggeleng. Aku bertanya: Apakah ia Sahabat Nabi? Ayahku berkata: Bukan. Ia adalah tabi’in. Tidak berapa lama kemudian Abu Hatim meninggal dunia

Oleh : Ust. Kharisman

Jadilah Ayah Menyenangkan

 

 (HIKMAH MORAL dari FILM)

 Suatu malam saya terbangun. Karena esok tak ada pekerjaan, saya menyalakan televisi. Sebuah film khas Hollywood sedang tayang di sebuah stasiun televisi swasta.Freedomland judulnya. Saya duga genre-nya thriller. Memang benar. Plot ceritanya tentang hilangnya seorang anak secara misterius di tengah hutan di sebuah kota kecil. Repotnya, kasus ini mengarah kepada kejahatan rasial. Warga kulit putih menduga pelakunya adalah orang kulit hitam.

Samuel L. Jackson,  yang berperan sebagai detektif kulit hitam melakukan investigasi, termasuk menginterogasi ibu sang bocah, seorang janda usia muda. Penyelidikan mengarah hingga ke arah supranatural. Sang anak diduga diculik untuk dijadikan tumbal ritual ilmu hitam.

Tapi penyelidikan berakhir di luar dugaan. Tak ada supranatural sama sekali. Sang anak ditemukan dalam keadaan sudah tewas dikubur di tengah hutan. Pelakunya? Ternyata sang ibunya sendiri. Motifnya? Kesal kepada sang anak karena menghalanginya untuk berkencan dengan kekasihnya. Lalu sang ibu mencekoki anaknya dengan obat hingga meninggal.

Sang ibu akhirnya ditangkap. Ia menangis, meraung, menyesali kekhilafannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, ia pun dipenjarakan.

Setelah beberapa lama sang detektif mengunjungi sang ibu. Mereka berbicara dari hati ke hati. Sampai akhirnya sang detektif pun mencurahkan persoalan hidupnya kepada wanita tersebut. Ternyata ia tengah menderita karena anak lelaki satu-satunya yang telah dewasa kini meringkuk di tahanan karena serangkaian kejahatan yang dilakukannya.

“Aku ayah yang buruk!” kata sang detektif penuh penyesalan. Ia mengakui dengan jujur bahwa kekerasan dan kejahatan yang dilakukan anaknya adalah hasil ‘didikannya’ sendiri. “Setiap pulang ke rumah aku hanya menyakiti anakku,” tuturnya lirih di hadapan perempuan tersebut. “Ia melakukan kejahatan dengan menggunakan pistolku.”

Di akhir cerita, sang ayah yang detektif ini berkunjung ke penjara tempat anaknya ditahan. Dengan senyuman ia menemui putranya. Sang anak surprise dengan kedatangan sang ayah dengan muka ramah. “Dad, ini seperti natal di bulan November.” Mereka tersenyum.

Ayahbunda yang dirahmati Allah, memang ini hanya film, tapi memang ada insight yang saya renungi malam itu. Dialog di akhir film itu seperti menampar muka saya. Sang detektif menyadari ia adalah the bad daddy. “Setiap aku pulang aku hanya menyakiti anakku.”

Ya, coba kita renungkan, apa yang para bapak lakukan saat pulang ke rumah? Bisakah kita menjadi ayah yang menyenangkan? Atau justru menyebalkan untuk anak-anak kita di rumah?

Banyak anak — juga istri – yang kesal bila ayah atau suami mereka pulang. Mau enaknya sendiri, arogan, dan menyebalkan untuk anak-anak mereka. Ketika ada di rumah seringnya marah-marah, jauh dari menyenangkan. Ayah justru sosok yang menyebalkan saat berada di rumah.

Mungkin sebagian bapak beralasan; kami sudah capek 6 hari bekerja selama 8 jam bekerja, ditambah 2 jam lebih di perjalanan, maka kami minta dong pengertian selama ada di rumah. Kami kan butuh istirahat.

Ooh, sadarlah para ayah, ingatlah komitmen anda saat berkeluarga. Bukankah kita – kaum lelaki – sudah berkomitmen untuk membangun keluarga? Pahamilah arti membangun, yaitu menciptakannya, membuat landasannya dan merakitnya setahap demi setahap. Ketika bangunan itu sudah jadi maka tugas bukan berarti berhenti, tapi ada kewajiban untuk merawatnya.

Sungguh tidak adil bila para ayah merasa berhak untuk diperlakukan “istimewa” di rumah oleh anak-anak. Padahal mereka juga berhak untuk disenangkan oleh ayah mereka saat berkumpul bersama. Namun yang terjadi adalah sudahlah sulit bertemu sang ayah, tapi saat bertemu justru ayah bersikap menyebalkan.

Ingatlah pesan Nabi Muhammad saw., “Sesungguhnya pada keluargamu ada hak yang wajib ditunaikan.” Berarti keluarga — termasuk anak-anak – boleh menuntut hak mereka kepada para ayah.

Maka para ayah, janganlah egois, jangan jadi ayah yang menyebalkan. Saat engkau berada di rumah, saat itu anak-anak membutuhkan kehadiranmu dan perhatianmu. Meski engkau sekedar berdiri memandang mereka, tersenyum, atau melemparkan candaan ringan, apalagi bila engkau bisa memberikan motivasi dan inspirasi.

Andai para ayah sadar betapa pentingnya arti kehadiran dan perhatian mereka kepada setiap anak mereka, maka kepribadian Islam dan positif akan tumbuh bersemi dengan subur dalam jiwa anak-anak kita.

Mulailah menjadi ayah yang menyenangkan. Luangkan waktumu yang singkat untuk membuat dunia mereka ceria. Luruskanlah dengan kasih sayang kesalahan mereka. Buanglah perilaku menyebalkan dari pribadi kita. Bisa? Yakin pasti bisa!

Sumber : iwanjanuar.com