(HIKMAH MORAL dari FILM)
Suatu malam saya terbangun. Karena
esok tak ada pekerjaan, saya menyalakan televisi. Sebuah film khas Hollywood sedang tayang di sebuah stasiun televisi swasta.Freedomland judulnya.
Saya duga genre-nya thriller. Memang benar. Plot ceritanya tentang
hilangnya seorang anak secara misterius di tengah hutan di sebuah kota kecil.
Repotnya, kasus ini mengarah kepada kejahatan rasial. Warga kulit putih menduga
pelakunya adalah orang kulit hitam.
Samuel L. Jackson, yang berperan
sebagai detektif kulit hitam melakukan investigasi, termasuk menginterogasi ibu
sang bocah, seorang janda usia muda. Penyelidikan mengarah hingga ke arah
supranatural. Sang anak diduga diculik untuk dijadikan tumbal ritual ilmu
hitam.
Tapi penyelidikan berakhir di luar
dugaan. Tak ada supranatural sama sekali. Sang anak ditemukan dalam keadaan
sudah tewas dikubur di tengah hutan. Pelakunya? Ternyata sang ibunya sendiri.
Motifnya? Kesal kepada sang anak karena menghalanginya untuk berkencan dengan
kekasihnya. Lalu sang ibu mencekoki anaknya dengan obat hingga meninggal.
Sang ibu akhirnya ditangkap. Ia
menangis, meraung, menyesali kekhilafannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, ia
pun dipenjarakan.
Setelah beberapa lama sang detektif
mengunjungi sang ibu. Mereka berbicara dari hati ke hati. Sampai akhirnya sang
detektif pun mencurahkan persoalan hidupnya kepada wanita tersebut. Ternyata ia
tengah menderita karena anak lelaki satu-satunya yang telah dewasa kini
meringkuk di tahanan karena serangkaian kejahatan yang dilakukannya.
“Aku ayah yang buruk!” kata sang
detektif penuh penyesalan. Ia mengakui dengan jujur bahwa kekerasan dan
kejahatan yang dilakukan anaknya adalah hasil ‘didikannya’ sendiri. “Setiap
pulang ke rumah aku hanya menyakiti anakku,” tuturnya lirih di hadapan
perempuan tersebut. “Ia melakukan kejahatan dengan menggunakan pistolku.”
Di akhir cerita, sang ayah yang detektif
ini berkunjung ke penjara tempat anaknya ditahan. Dengan senyuman ia menemui
putranya. Sang anak surprise dengan kedatangan sang ayah
dengan muka ramah. “Dad, ini seperti natal di bulan November.” Mereka
tersenyum.
Ayahbunda yang dirahmati Allah, memang
ini hanya film, tapi memang ada insight yang saya renungi
malam itu. Dialog di akhir film itu seperti menampar muka saya. Sang detektif
menyadari ia adalah the bad daddy. “Setiap aku pulang aku hanya
menyakiti anakku.”
Ya, coba kita renungkan, apa yang para
bapak lakukan saat pulang ke rumah? Bisakah kita menjadi ayah yang
menyenangkan? Atau justru menyebalkan untuk anak-anak kita di rumah?
Banyak anak — juga istri – yang kesal
bila ayah atau suami mereka pulang. Mau enaknya sendiri, arogan, dan
menyebalkan untuk anak-anak mereka. Ketika ada di rumah seringnya marah-marah,
jauh dari menyenangkan. Ayah justru sosok yang menyebalkan saat berada di
rumah.
Mungkin sebagian bapak beralasan; kami
sudah capek 6 hari bekerja selama 8 jam bekerja, ditambah 2 jam lebih di
perjalanan, maka kami minta dong pengertian selama ada di rumah. Kami kan butuh
istirahat.
Ooh, sadarlah para ayah, ingatlah
komitmen anda saat berkeluarga. Bukankah kita – kaum lelaki – sudah berkomitmen
untuk membangun keluarga? Pahamilah arti membangun, yaitu menciptakannya,
membuat landasannya dan merakitnya setahap demi setahap. Ketika bangunan itu
sudah jadi maka tugas bukan berarti berhenti, tapi ada kewajiban untuk
merawatnya.
Sungguh tidak adil bila para ayah merasa
berhak untuk diperlakukan “istimewa” di rumah oleh anak-anak. Padahal mereka juga
berhak untuk disenangkan oleh ayah mereka saat berkumpul bersama. Namun yang
terjadi adalah sudahlah sulit bertemu sang ayah, tapi saat bertemu justru ayah
bersikap menyebalkan.
Ingatlah pesan Nabi Muhammad saw., “Sesungguhnya
pada keluargamu ada hak yang wajib ditunaikan.” Berarti keluarga —
termasuk anak-anak – boleh menuntut hak mereka kepada para ayah.
Maka para ayah, janganlah egois, jangan
jadi ayah yang menyebalkan. Saat engkau berada di rumah, saat
itu anak-anak membutuhkan kehadiranmu dan perhatianmu. Meski engkau sekedar berdiri memandang mereka,
tersenyum, atau melemparkan candaan ringan, apalagi bila engkau bisa memberikan
motivasi dan inspirasi.
Andai para ayah sadar betapa pentingnya
arti kehadiran dan perhatian mereka kepada setiap anak mereka, maka kepribadian
Islam dan positif akan tumbuh bersemi dengan subur dalam jiwa anak-anak kita.
Mulailah menjadi ayah yang
menyenangkan. Luangkan waktumu yang singkat
untuk membuat dunia mereka ceria. Luruskanlah dengan kasih sayang
kesalahan mereka. Buanglah perilaku menyebalkan dari pribadi kita. Bisa? Yakin
pasti bisa!
Sumber : iwanjanuar.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar